Selasa, 27 April 2010

tentang hidup

pada sebuah dinding ia bertanya, " apa katamu tentang hidup? "

dinding pun menjawab, " hidup hanyaLAH sebuah awal dan akhir ".

hanya pada sebuah dinding, ia kini berteman. karena ia merasa, tak lagi ada manusia yang bisa memahaminya.

dan, karena merasa tak puas, ia kembali berseru..
" hanya itu..?, biasanya kamu selalu memberikan jawaban cerdas sekaligus menjelaskannya panjang lebar padaku. aku tak puas dengan jawabanmu kali ini .. "

dinding hanya diam..

memberikan keheningan yang tak biasa padanya..

hening yang lama-lama dingin..

" kamu berubah...", ia buka suara kembali.

" hidup juga sebuah perubahan, dari awal menjadi akhir ", dinding menambahkan.

" sama saja, kamu bukan lagi yang dulu.."

" karena inilah hidup!"

ternyata dinding pun seperti manusia, bisa berubah. mungkin salah lagi, ia menjadikan dinding sebagai teman. karena tak bedanya seorang manusia, benda mati pun memiliki usia, bisa berubah, lalu akhirnya.. musnah..

" baiklah, kamu selalu benar.. hidup memang sudah berubah.. kamu yang tak seperti dulu, dan aku yang tak lagi bisa memahami perubahanmu, juga hidup..", serunya kembali, pasrah.

hening lagi..

"sebelum keberadaanku tak diinginkan lagi, izinkan aku memberi pesan terakhir..", dinding menyambung kembali.

" hidup terlalu berarti jika kau anggap kematian lebih menenangkan.. karena mati, kau bisa lebih menghargai hidup. dan kau akan menyesal, jika kematian yang kau pilih tak menjadikanmu berharga dalam hidup.." tak terduga, itulah kata-kata terakhirnya, sebelum sang dinding sempat memberikan pesan terakhir.

lalu dinding itu ia robohkan, hingga benda mati itu kini tutup usia. ia pun segera menyusul, memutuskan untuk mengakhiri kehidupan yang ia anggap sebagai hidupnya.

disinilah, disini ia seharusnya berada.
pada bumi dimana ia berpijak. bukan lagi dalam alam pikirannya yang liar. ia menyambung nyawa dengan menghirup udaranya, membasahi kerongkongannya dengan air yang mengalir di tanahnya, dan makan dari hasil tanahnya. disini seharusnya jiwanya berada...

ia kembali, pada dunia dimana ia semestinya berada.
ia telah kembali, karena memahami bahwa...

-kita takkan bisa mendapatkan kedamaian dengan menghindari hidup...-

hingga akhirnya, ia bisa beristirahat dalam kedamaian, dengan berserah pada kehidupan.

Sabtu, 10 April 2010

rumah

ini yang disebutnya rumah..
bukan dalam wujud sebenarnya, hanya suatu tempat dalam jiwanya, yang kecil, sederhana tapi membuatnya merasa nyaman.. jauh dari hingar-bingar, tak ada kilau dunia yang sering membuatnya lupa, lupa akan hakikat dirinya.. ia rindu itu, rindu pada rumah itu..

ini yang disebutnya rumah...
ketika ia hanya sendiri. tanpa siapapun, baik di samping maupun di dalam hatinya.. ia yang tak pernah mengeluh saat sepi menyinggahi, saat gelap mengendap, saat petir bergemuruh, saat hujan deras tak henti membasahi rumahnya, saat genangan air memenuhi terasnya.. ia asyik bermain, bukan asyik, tapi khusyuk bermain.. membasahi kaki2nya dengan sisa genangan air hujan, menemani burung bernyanyi, burung yang tiap hari hinggap di dahan pohon depan jendela kamarnya, mengikuti kemana awan berjalan, awan yang selalu berubah bentuk, sesuai dengan suasana hatinya.. kadang bentuk hati, bunga, atau bahkan sebilah pisau.. ia yang selalu bahagia, bahagia dengan rumah kecilnya..

ini yang disebutnya rumah..
saat sendiri, karena kesendirianlah yang membuatnya kuat.. karena sendiri, maka siapa lagi yang ia anggap bisa menemani, hanya Dia.. hanya Dia yang ia anggap pantas, pantas menemaninya dalam rumah kecilnya.. cuma Ia, yang sanggup mengganti kesenangan yang suatu saat bisa saja dicabut-Nya dari rumah kecilnya.. maka ia pun bersiap untuk hal itu, jika suatu saat tak lagi ia dapat bahagia itu.. setiap malam, setiap malam ia mendekat, berucap, bersujud, memohon, menangis, melafalkan ayat-ayatNya.. setiap malam menjelang fajar menyapanya kembali.. hingga ia dapat, ia dapat merasakan kehadiranNya dalam sebentuk rasa "manis" yang merasuki jiwanya.. ah, alangkah bahagianya ia saat itu..

ini yang disebutnya rumah..
rumah yang kini kosong, ditinggal pemiliknya..
hingga ia ragu, masihkah sama, jika ia kembali menempati rumah itu.. ah terlalu lama ia pergi, hingga ia merasa tak pantas lagi menempatinya.. rumah yang tetap bersih, tetap sepi, masih dengan pohon yang sama di depan jendela kamarnya, masih dengan awan yang sama di langitnya, awan yang selalu berubah bentuk..
tapi..
tak ada lagi burung bernyanyi, yang terdengar hanya bising deru kendaraan..
tak ada lagi bentuk hati dan bunga pada awan, yang terlihat hanya api.. ya, awan yang serupa bola api. bukan..! bukan matahari, tapi itu bola api yang membakar rumah kecilnya, juga pisau-pisau mengelilingi rumahnya yang terbakar.. ah, untunglah.. itu hanya ia lihat pada awan, hanya menyerupai, bukan keadaan yang sebenarnya..

hingga ia sadari kemudian, dunia memang telah berubah, dan hidup tak lagi sama..
tapi ia tetap rindu..
rindu pada rumah kecilnya yang dulu..

aku rindu..-_-

Related Posts with Thumbnails