Pagi ini, di jumat yang mendung, tepat pukul 6.41 waktu rumahku. Aku mencatat.
Tentang pagi yang mencekam. Tentang tivi yang kunyalakan. Tentang berita yang menyampaikan kedukaan, kepanikan, kecemasan. Tentang pagi yang mencekam. Tentang iklan-iklan yang mengganti pemandangan menjadi begitu menyenangkan, menceriakan. Seperti tak mengikuti perkembangan berita pagi, mereka, asyik memamerkan putih wajah mereka, asyik mempromosikan rbt lagu yang sekiranya tak akan laku dijual sekalipun bajakan di emperan, mereka asyik menari-nari, meloncat-loncat, berteriak-teriak hanya karena kelezatan sebuah produk makanan, orang gila!
Lihat, berita pagi kembali.
Berita pagi menyampaikan, di tengah lelapku semalam, jauh di merapi sana, gemuruh kembali, gempa menyapa lagi, mereka tak sempat lari. Aku tak kenal itu si awan panas, tapi, namanya berulang kali disebut seminggu terakhir ini. Dan katanya, ia jahat. Ada juga yang menyebutnya "wedhus gembel", huss...! jangan disebut!. Kata siapa pula aku lupa, jangan sebut-sebut nama itu, cukup panggil si awan panas. Si awan panas mungkin jahat, datang gak bilang-bilang, tahu-tahu nyawa menghilang. Tapi, ia hanya menjalankan tugas, tugas yang dititahkan merapi. Ia memegang janji untuk setia pada merapi, setia pada apapun yang merapi kehendaki, sekalipun hanya sebagai 'muntahan merapi'. Sekalipun tak digaji. Mungkin ia sudah berjanji pada Tuhan, sebelum ia dilahirkan. Mungkin seperti manusia. Mungkin sama seperti si mbah, si pemegang kunci Merapi. Aku harap, semoga si mbah berjanji atas nama Tuhan, bukan atas nama keraton. Karena sampai akhir hayatnya menjaga merapi, yang aku tahu, gajinya cuma Rp. 80.000,- sebulan. Delapan puluh ribu sebulan untuk nyawa sebagai taruhan. Dan mungkin, sebagai imbalan, Tuhan jadikan ia bersujud saat berpulang.
Cukup untuk si awan panas. Sekarang, mari kita lihat para korbannya. Hari pertama ia beraksi, 30 nyawa melayang. Hari selanjutnya, belasan terluka. Dan mungkin, kini jumlah yang mati sudah bertambah. Aku tak hapal benar. Aku bukan si pencatat berita. Radius wilayah aman, satu hari saja, 10 km bertambah. Pengungsi diungsikan, pengungsi membludak. Dapur umum kekurangan juru masak, mengundang tangis pak camat. Pagi ini, dari berita yang kudapat dari akun jejaring sosial yang lain, mereka kelaparan, mereka butuh sarapan. Mereka butuh pakaian, air bersih, perlengkapan khusus wanita, susu bayi, makanan bayi, obat-obatan, masker, juga hiburan. Mereka butuh aksiku, bukan sekadar simpatiku. Mereka butuh aksi para mahasiswa yang gemar berdemo. Cobalah, ganti demo di depan istana menjadi demo masak di dapur umum. Tolonglah, wahai para mahasiswa.
Berita pagi juga menyampaikan, ada abu vulkanik yang menyapu daerah Pangalengan. Hah, Pangalengan!. Gunung mana lagi yang meletus? Papandayan?. Bukan. Kata si pembawa berita, itu abu vulkanik dari merapi. Hey, jauh sekali. Ah, aku tak hapal peta. Jadi, tak tahu benar posisi merapi dimana. Tak tahu garis pegunungan aktif itu melewati daerah mana saja. Ah, aku takjub saja. Tapi tak aneh juga. Kata ibu, kakek nenek, para orang tua, dulu, abu vulkanik sampai menyelimuti seluruh jawa bagian tengah saat merapi merekah. Dan itu, korban sampai ribuan jiwa, dan itu, yang kulihat dari video yang beberapa hari terakhir ini sering diputar di tivi, lahar dan lava pijar sampai muncrat. Mencekam. Aku seperti sedang menonton film, yang kuingat judulnya Dante's Peak, film tentang gunung meletus juga. Yah, mencekam. Kematian menari-nari di depan. Awan panas, lahar, mengejar di belakang.
Berita pagi juga menyampaikan, awan panas mulai turun dari Semeru. Gunung yang beberapa waktu lalu sempat kulihat dari puncak Bromo. Mereka berdua, dua sejoli itu, sama-sama sudah berstatus waspada.
Berita pagi juga bilang, perahu nelayan banyak yang rusak akibat diterjang gelombang setinggi 3 meter di perairan Carita, Banten. Itu akibat aksi si Anak Krakatau. Gempa vulkanik yang terus menerus, sampai ratusan kali setiap hari, menggoncang laut pasti. Ah, apakah status si anak krakatau sekarang? Sudah siagakah? Hey, Banten dan sekitarnya, berhati-hatilah. Jangan sombong. Jangan merasa lebih mengenal alam daripada Tuhan. Kalau diminta pergi, ya pergi, mengungsi, ya mengungsi.
Ada apalagi di berita pagi. Ah ya, Mentawai. Bagaimana kabar disana? Cuaca masih buruk. Samudera Hindia masih tak bersahabat. Akibatnya, bantuan dan relawan kembali tak bisa berlayar. Luka para korban sudah pada membusuk. Apalagi mayat-mayat yang belum juga ditemukan. Sudah tak karuan. Dengar kabar kemarin, para relawan terkendala koordinasi, birokrasi, kurang nasi, bla..bla..bla.. ah.. Dengan kabar kemarin juga, Gubernur Sumatera Barat terbang melenggang ke Jerman, tanpa mengantongi izin dari presiden. Aih, iri sekali aku padanya. Jerman, uy. Aku pingin sekali kesana. Tapi, hey. Anak-anakmu disini sedang kelaparan, pak! Sanak saudara mereka tak jelas nasibnya. Masih bernafaskah, atau sudah dimakan belatung di tengah hutan. Mereka tidur tak beralas, pak! Tulang mereka yang patah belum juga diamputasi, bapak malah enak-enakan bersafari. Pak..pak.. Bapak dari partai mana kalau saya boleh tahu? Apa. Ouch..! Jawaban bapak menampar muka saya, menohok hati saya, menghujam jantung saya. Ah, bapak. Saya mestinya malu, atau, bersyukur karena tak lagi bermain-main dengan golongan itu, partai itu. Ah, pak. Cari kebenaran mah dari mana saja ya, pak. Gak perlu menganggap diri paling benar. Pak, pulang donk, pak..!
Ah, berita apalagi yang menambah cekam pagi ini.
Bukan berita mungkin. Lebih kepada, ketidakberdayaanku melihat ini semua. Begitu mencekam, ketika yang kutahu aku hanya bisa menulis ini. Ketika yang kutahu, aku tak mungkin berada disana. Di Mentawai, di Jogja. Kalau sekadar ingin, sudah dari kemarin-kemarin. Tapi, seseorang yang terpanggil hatinya untuk membantu korban bencana juga perlu memperhitungkan segala sesuatunya. Kita bisa apa, apa yang kita bisa. Dan, bagaimana orang-orang sekitar kita bisa merelakan dan percaya akan kepergian kita, mereka percaya atau tidak, bahwa kita bisa meringankan beban para korban, atau malah sebaliknya. Bukan sekadar keinginan, sekehendak hati menjadi relawan. Salah-salah, kita malah bergabung dengan para korban, ikut menjadi korban.
Yah, inilah pagi yang kucatat. Yang sebenarnya, ingin dari kemarin-kemarin kutumpahkan ini semua, pada kalian, yang sudi membaca. Sekadar berbagi perih. Supaya terasa tidak terlalu perih. Melihat. Mendengar. Menyaksikan. Bencana demi bencana yang sepertinya sudah menganggap kita, Indonesia, sebagai karib mereka. Mereka memilih, mereka memutuskan, inilah tempat yang paling asyik untuk beraksi, entah atas dasar apa. Entah karena Tuhan sedang menguji, entah karena Tuhan sedang murka, entah karena kita senang merusak alam. Entah karena banyak yang korupsi, uang yang seharusnya milik rakyat dikantongi sendiri, jadinya, bencana datang, dan akhirnya, uang-uang itu kembali ke tangan rakyat yang bernama korban. Entah karena kita lupa bersyukur, atau, entah karena ini memang sudah jalannya.
Maka, biarlah. Aku meratapi semua dengan cara ini.
Dengan cara mencatat sebuah pagi.
Cibinong, 5 November 2010.
Selesai pada pukul 8.10 pagi.
2 komentar:
turut berduka untuk merapi...setelah abu vulkanik selesai..kini lahar dingin menyerang...mari kita berdoa untuk negeri ini khususnya DIY MGLNG dan sekitarnya...xsemoga diberikan ketabahan
mengheningkan cipta, dimulai..-_-
thanks..:)
Posting Komentar